Source: openDemocracy

PRT, Kesetaraan Gender, dan Sekelumit Sejarah Peradaban Kuno

Semakin mahalnya kebutuhan hidup di masa ini membuat manusia semakin gila bekerja. Manusia tidak sempat melakukan hal-hal yang sederhana, bahkan untuk sekedar menyapa anggota keluarga, apalagi membersihkan rumah. Keadaan yang demikian, membuat manusia mempekerjakan Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun, hal itu justru menimbulkan masalah sosial yang baru. Mengapa demikian? Di Indonesia, kasus-kasus kekerasan terhadap PRT kerap terjadi. Lebih parahnya, masih banyak PRT di bawah umur yang diperlakukan dengan tidak semestinya. Melansir portal berita CNN (2023), 10 dari 11 PRT menjadi korban kekerasan sehari-hari. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, dan juga masalah upah. PRT di perlakukan layaknya budak rumah tangga.

Ironisnya, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di Indonesia tak kunjung disahkan. Padahal korban PRT perempuan dan anak-anak bergelimpangan. Anak-anak? Iyapss, benar, memang gak ngotak!!!

RUU PPRT sebenarnya bukanlah isu segar yang baru muncul. Sudah 19 tahun lamanya para aktivis berjuang menekan pemerintah untuk segera mengesahkannya. Memang bukan waktu yang sebentar, namun entah mengapa pemerintah seakan menutup mata atau jangan-jangan kapasitasnya yang gak mumpuni? Padahal, Indonesia bisa mencontoh beberapa negara lain di luar sana yang telah lama memiliki undang-undang mengenai PRT, seperti Swedia.
Salah satu negara Nordik ini telah memiliki peraturan mengenai PRT sejak tahun 1926. The Act on Indentured Service (UU Pelayanan Kontrak) menetapkan hubungan atau kedudukan yang ketat antara PRT dan atasan, misalnya memperlakukan PRT seperti anggota keluarga sendiri. Atasan juga diwajibkan untuk memberi perawatan kepada PRT yang jatuh sakit dan memiliki hak untuk memberhentikan PRT yang lalai, ceroboh, atau tidak cakap dalam bekerja. Sementara PRT yang menentang atasan dapat dihukum negara. Mereka juga tidak bisa memutuskan kontrak sebelum waktu yang disepakati habis, kecuali atasan sendiri yang memutuskan hubungan (Calleman, 2011).
Selama beberapa abad, pekerjaan domestik—orang Swedia menyebutnya—atau biasa disebut PRT merupakan lapangan pekerjaan bagi perempuan dan memang hanya untuk perempuan. Namun, sekitar tahun 1940-an, permintaan untuk pekerjaan domestik ini mulai memudar karena kurangnya pekerja akibat perang. Baru setelah Perang Dunia II berakhir, pemerintah mengalokasikan pengungsi laki-laki bekerja di sektor pertanian dan perempuan di pekerjaan domestik. Tren kemudian berubah lagi seiring berjalannya waktu. Tahun 1960-1970-an, perempuan di Swedia kebanyakan mulai memasuki sektor kerja yang lain, di saat yang sama muncul kebutuhan pengasuh anak yang tinggi karena perempuan bekerja di luar rumah. Walaupun pekerjaan domestik sudah di isi oleh para pengungsi di Swedia, permintaan tetaplah meningkat. Remaja perempuan Swedia dari pedesaan direkrut untuk menjadi PRT, khususnya di bidang pengasuhan anak (Calleman, 2011).

Banyaknya permintaan PRT membuat hukum atau jenis regulasi lainnya semakin berkembang. PRT tercantum dalam UU Ketenagakerjaan Umum tahun 2009 yang salah satunya berisi jaminan lingkungan. Pemilik rumah harus memastikan lingkungan yang sehat dan aman bagi pekerjanya. Tidak hanya itu, pada tahun 2019, Swedia menjadi negara anggota ILO (International Labour Organization) ke-28 yang meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga, 2011 (No. 189). Konvensi No. 189 ini menegaskan kembali kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja, mengingat selama ini perempuan terkonsentrasi di sektor PRT. Tindakan ini juga menegaskan kembali bahwa Swedia berkomitmen menegakkan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan pekerjaan layak sekaligus melindungi hak-hak PRT (ILO, 2019).
Ratifikasi konvensi ILO membuat ketimpangan hak antara atasan dan pekerja menjadi berkurang karena di dalamnya terdapat regulasi mengenai kewajiban membuat perjanjian kerja yang spesifik. Seperti yang tercantum pada European Commission (2006), apabila seorang pekerja diberhentikan tanpa alasan yang jelas, maka pemecatan atau pemberhentian tersebut tidak sah dan pekerja berhak ganti rugi. Pekerja yang ingin membatalkan perjanjian memiliki hak untuk membawa kasusnya ke pengadilan tanpa batas waktu tertentu. Selain itu, aturan hukum mengenai pekerja domestik di Swedia belum bisa berlaku apabila pekerja masih dalam masa waktu percobaan (tidak lebih dari 6 bulan), sehingga pekerja bisa membatalkan perjanjian kapan saja dalam rentang waktu tersebut.
Walaupun tren pekerjaan perempuan sempat berubah, tetapi pada akhirnya perempuan lebih banyak bekerja di pekerjaan domestik. Apakah fenomena ini terus berulang? Bagaimana dengan perempuan zaman dahulu di abad-abad sebelumnya?

Saat membicarakan negara-negara Skandinavia, tentu tidak bisa menghindari fakta bahwa mereka adalah bangsa Viking. Dalam kehidupan sosial masyarakat Viking, umumnya laki-laki melakukan pekerjaan berburu, berkelahi, berdagang, dan bertani. Di sisi lain, kegiatan perempuan berpusat pada memasak, mengurus rumah, dan membesarkan anak. Mayoritas penguburan Viking yang ditemukan arkeolog mencerminkan peran mereka selama hidup; laki-laki umumnya dikuburkan dengan senjata dan perempuan dengan barang rumah tangga, sulaman, atau perhiasan (Pruitt, 2023).
Namun, tahukah kalian bahwa perempuan Viking di masa itu memiliki kebebasan yang tidak biasa pada masanya? Pruitt (2023) dalam artikelnya menjelaskan bahwa perempuan pada era Viking bisa bebas untuk memiliki properti, meminta cerai dengan suami, dan mendapatkan mahar kembali ketika pernikahan mereka berakhir. Pernikahan perempuan biasanya sudah diatur oleh keluarganya, atau kita biasanya menyebutnya perjodohan, tetapi mereka juga mempunyai hak untuk bersuara dalam pengaturan tersebut.

Dari sedikit cerita di atas, terlihat bahwa masyarakat Skandinavia sejak zaman dahulu tidak meletakkan perempuan lebih rendah dari laki-laki dalam struktur masyarakatnya. Bahkan, dalam Pruitt (2023), telah ditemukan makam seorang perempuan yang dimakamkan dengan kapal terbesar Viking bernama Kapal Oseberg yang di hias mewah berserta barang-barang peninggalan lainnya. Makam ini merupakan makam termegah yang pernah ditemukan di Skandinavia. Hal ini menunjukkan kesetaraan gender sudah ada di era Viking yang masih melekat sampai sekarang.
Apabila kita mengintip kembali sejarah Indonesia, sebenarnya tidak jauh berbeda. Khususnya dalam sejarah Jawa Kuno, kedudukan perempuan tidak hanya sebatas di ruang domestik saja, melainkan perempuan juga memiliki peran penting bagi masyarakat (Erlangga, 2022). Contohnya seperti Ratu Shima, Pramodawardhani, Ken Dedes, Gayatri Rajapatni, Tribuwanatunggadewi, dan Dyah Suhita. Tokoh-tokoh tersebut tampil sebagai pemangku kebijakan tertinggi, yaitu sebagai ratu. Ratu Shima, contohnya, terkenal sebagai ratu yang sangat tegas karena menjunjung tinggi hukum dan menjalankan keadilan tanpa pandang bulu (Erlangga, 2022).

Kisah-kisah kuno kerajaan memang memiliki alur yang rumit, tetapi dari sedikit contoh tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan tidak dianggap rendah. Kesetaraan gender di Indonesia sejatinya telah berusaha ditegakkan sejak dahulu. Uniknya, mengapa kesetaraan ini tidak dilanggengkan sampai sekarang, ya?Mempertahankan apa yang sudah kita punya itu memang sulit, ya. Good job untuk Swedia karena berhasil mempertahankan prinsip kesetaraan sejak zaman dulu!

Kembali lagi dalam masalah PRT, pemerintah Swedia sampai saat ini masih terus berusaha memperjuangkan hak-hak PRT yang kebanyakan adalah perempuan untuk diperlakukan secara layak dan di pandang setara dengan pekerjaan yang lain. Usaha-usaha itu terbukti dengan adanya perkembangan hukum yang mengatur mengenai PRT itu sendiri. Tidak heran apabila negara-negara Skandinavia—termasuk Swedia—dijuluki dengan “Land of Equality”. Sekarang, mari kita semua sama-sama berdoa supaya Indonesia bisa segera menyusul untuk mengesahkan RUU PPRT.

Author: Nafisha Aulia Salsabila

Editor: Debby Salsabila, Izzudin Azzam

REFERENSI

Calleman, C. (2011). Domestic Services in a “Land of Equality”: The Case of Sweden. Canadian Journal of Women and the Law, 23(1), 121-140. https://doi.org/10.3138/cjwl.23.1.121
CNN Indonesia. (2023). Koalisi Sipil Sebut Setiap Hari 11 PRT Jadi Korban Kekerasan.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230212130535-20-912015/koalisi-sipil-sebut-setia p-hari-11-prt-jadi-korban-kekerasan
Erlangga, E. & Nelsusmena. (2022). Perempuan di Era Jawa Kuno: Tinjauan Historis Peran Perempuan pada Masa Kerajaan di Tanah Jawa. Chronologia, 4(1), 24-33. http://dx.doi.org/10.22236/jhe.v4i1.9236
European Commission. (2006). Termination of employment relationships, Legal situation in the Member States of the European Union. https://ec.europa.eu/social/BlobServlet?docId=4624&langId=en
International Labour Organization. (2019). Sweden ratifies the Domestic Workers Convention, 2011 (No. 189).
https://www.ilo.org/resource/news/sweden-ratifies-domestic-workers-convention-2011-no-18 9
Pruitt, S. (2023). What Was Life Like for Women in the Viking Age? A&E Television Networks. https://www.history.com/news/what-was-life-like-for-women-in-the-viking-age

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.