Tulisan ini merupakan bentuk kerja sama divisi Forskning Scanity UGM dengan divisi Inka Korps Mahasiswa HI (KOMAHI) UGM. Tulisan ini juga tayang di kanal Medium Inka KOMAHI.
Sebagai suatu wilayah yang berada dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional dari masa ke masa, Kabupaten Natuna yang terletak di Provinsi Riau telah menjadi kawasan yang dipenuhi oleh masyarakat dari berbagai macam etnis dan budaya. Tidak hanya kaya akan kebudayaan, Natuna juga kaya akan berbagai sumber daya alam. Namun demikian, bagai pedang bermata dua, keberagaman dan kondisi geografis tersebut menjadikan Natuna senantiasa berada pada situasi waspada.
Pada September 2020 yang lalu, untuk kedua kalinya kapal penjaga pantai milik Cina secara ilegal memasuki perairan Natuna Utara dan menetap selama lebih kurang 2 hari (CNBC Indonesia, 2020). Permasalahan yang menimpa Mutiara di Utara ini bermula dari Pemerintah Cina yang mengklaim wilayah Laut Cina Selatan (LCS) berdasarkan peta teritorial yang dikenal sebagai “Nine Dash Line“. Peta ini membubuhkan sembilan garis putus-putus sebagai penanda batas pemisah imajiner yang digunakan Cina untuk mengklaim sebagian besar wilayah LCS.
Klaim Cina atas LCS didasarkan pada latar belakang sejarah Cina kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaannya. Menurut Pemerintah Cina, Dinasti Han menemukan wilayah LCS pada abad ke-2 Masehi dan Dinasti Yuan memasukkan LCS ke dalam peta wilayahnya pada abad ke-12, yang mana 90% dari wilayah LCS adalah milik Cina. Cina sendiri acapkali melakukan aktivitas di wilayah LCS, salah satunya seperti penangkapan ikan dan juga latihan militer.
Sengketa LCS sendiri melibatkan tujuh negara, termasuk Cina, Jepang, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia. Masing-masing negara memiliki klaim teritorial yang berbeda-beda atas wilayah LCS. Pemerintah Indonesia mengklaim wilayah LCS sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sejauh 200 mil dari garis pantai. Pemerintah Indonesia juga mengklaim wilayah LCS sebagai Laut Natuna Utara yang didasarkan pada aturan Hukum Laut Internasional. Namun, meskipun memiliki dasar hukum yang jelas, Cina tetap menolak klaim Indonesia atas perairan Natuna Utara. Lantas, dengan cara apa Indonesia dapat mempertahankan Laut Natuna Utara dari klaim-klaim Cina?
Pentingnya Landasan Historis dan Fakta Kredibel
Berkaca dari peristiwa masa lampau, saat Indonesia harus kehilangan kedaulatannya atas Timor Timur dan Sipadan-Ligitan, landasan historis dan hukum internasional terbukti tidak cukup dijadikan basis untuk memenangkan klaim atas suatu wilayah. Dalam hal ini, fakta-fakta kredibel yang sekaligus dapat memperkuat pendekatan historis terhadap kehidupan masyarakat adat dan sejarah perkembangan Natuna menjadi salah satu aspek kunci yang dapat mempengaruhi kemenangan atas klaim wilayah yang diperebutkan.
Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia adalah salah satu contoh nyata. Fakta historis yang dilayangkan oleh Malaysia, mempunyai peranan penting dalam membuktikan dan memperkuat kepemilikan suatu wilayah. Narasi historis yang didasari pada fakta-fakta kredibel tentang wilayah perbatasan menjadi sangat penting. Ketersediaan fakta dan narasi historis akan menguatkan Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman persengketaan wilayah dengan negara lain. Narasi historis juga penting sebagai pedoman bagi masyarakat dalam memahami dan menggali potensi wilayahnya serta menjadi landasan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk memberdayakan masyarakat di perbatasan. Perbatasan dapat diibaratkan sebagai pagar depan rumah kita, maka dengan itulah menjaga dan merawatnya adalah hal yang penting dan tidak dapat diganggu-gugat.
Nilai-Nilai Luhur Budaya Melayu
Arman (2018) melalui laman Kemdikbud mengungkapkan bahwasanya nilai-nilai luhur Melayu, sebagai etnik yang mendominasi lebih dari 80% populasi di Natuna, seperti kebersamaan dan gotong royong menjadi pondasi kuat bagi nasionalisme masyarakat di Natuna. Mereka diberikan pengertian bahwa kegotongroyongan, kebersamaan, dan tenggang rasa merupakan kepribadian yang harus dimiliki masyarakat Melayu.
Selain itu, meskipun Natuna dibanjiri oleh pendatang dari latar belakang etnis yang berbeda, tetapi masyarakat lokal (Melayu Natuna) menerima mereka dengan tangan terbuka dan memelihara pluralitas yang timbul. Hal ini sehubungan pula dengan nilai-nilai luhur masyarakat adat Melayu yang percaya bahwasanya kita semua bersaudara, lewat moyang yang sama, yakni Adam dan Hawa. Selama bertahun-tahun, nilai-nilai luhur tersebut pun memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat di Natuna. Jiwa nasionalisme yang kental mengalir di darah mereka dan memberikan identitas yang jelas akan wilayah Natuna. Seperti yang juga telah diakui Arman (2018) dalam laman Kemdikbud, kebudayaan ini menjadi alasan kuat mengapa Natuna masih menjadi bagian dari Indonesia hingga sekarang, meskipun telah diabaikan kesejahteraannya oleh pemerintah pusat.
Nasionalisme Tanpa Kepedulian Pemerintah: Sebuah Bumerang
Nasionalisme masyarakat Natuna sudah terbangun sejak lama. Melalui laman Kemendikbud, mengungkapkan bahwasanya nilai-nilai luhur Melayu, sebagai etnik yang mendominasi lebih dari 80% populasi di Natuna, seperti kebersamaan dan gotong royong menjadi fondasi kuat bagi nasionalisme masyarakat di Natuna (Arman, 2018). Mereka diberikan pengertian bahwa kegotongroyongan, kebersamaan, dan tenggang rasa merupakan kepribadian yang harus dimiliki masyarakat Melayu. Selain itu, meskipun Natuna dibanjiri oleh pendatang dari latar belakang etnis yang berbeda, tetapi masyarakat lokal (Melayu Natuna) menerima mereka dengan tangan terbuka dan memelihara pluralitas yang timbul. Hal ini sehubungan pula dengan nilai-nilai luhur masyarakat adat Melayu yang percaya bahwasanya semua bersaudara.
Selama bertahun-tahun, nilai-nilai luhur tersebut pun memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat di Natuna. Jiwa nasionalisme yang kental mengalir di darah mereka dan memberikan identitas yang jelas akan wilayah Natuna. Oleh karena itu, jiwa nasionalisme ini perlu dirawat dan dijaga sebagai garda terdepan dalam menghadapi klaim-klaim dari negara lain. Namun, seringkali pemerintah gagal dalam mensejahterakan masyarakat Natuna.
Pada 15 Maret 1999 silam, deklarasi “Riau Merdeka” menggema di tanah air. Dengan diprakarsai oleh seorang tokoh bernama Tabrani Rab, gerakan ini menggugat sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Para tokoh yang terlibat mengakui bahwasanya deklarasi ini merupakan wujud protes dan kekecewaan mereka atas eksploitasi minyak dan gas alam yang dilakukan oleh pemerintah pusat di tanah Riau (Siregar, 2022). Pasang surut gerakan ini terus berlangsung hingga dideklarasikan untuk yang kedua kalinya pada tahun 2006. Pasalnya, hingga tahun 2010, kondisi pembangunan di Natuna terbukti masih di tahap yang mengkhawatirkan.
Dalam penelitian Siregar (2010), fasilitas umum masyarakat Natuna, seperti akses terhadap air bersih dan listrik masih sangat terbatas, akses terhadap pendidikan masih sangat jauh dari kata terjangkau—termasuk di dalamnya ketiadaan perguruan tinggi. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, sangat tidak menutup kemungkinan akan adanya kemunculan deklarasi Riau Merdeka untuk yang ketiga kalinya. Hal tersebut menyebabkan jiwa-jiwa nasionalisme masyarakat Natuna tergerus dan berujung menjadi bumerang bagi Indonesia.
Adanya kasus-kasus seperti di atas, pemerintah Indonesia semestinya menjaga keberlangsungan nasionalisme tersebut dengan memastikan kesejahteraan masyarakat Natuna dapat dipenuhi. Huru hara yang terjadi di tanah Riau, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara perlahan mendorong pemerintah dalam memberikan pembangunan konkret bagi masyarakat Riau, termasuk Natuna. Misalnya, akses Natuna akan listrik dan sinyal internet sudah terjangkau sejak 2019 silam dan terus diupayakan pemerataannya hingga sekarang (PLN, 2019; Diskominfo, 2019).
Setelah proses penguatan identitas dan upaya pemulihan kehidupan yang layak bagi masyarakat Natuna, Pemerintah Indonesia juga perlu memberikan sosialisasi khusus bagi masyarakat Indonesia mengenai Natuna dan wilayah-wilayah perbatasan lainnya sehingga keberadaan mereka dapat diakui oleh banyak orang. Pertama, pemerintah bisa memperkenalkan peninggalan sejarah Kabupaten Natuna yang berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Selanjutnya, keberagaman masyarakat adat di Natuna, termasuk mayoritas penduduk Melayu dan kehadiran etnis lain seperti Tionghoa, Jawa, dan Minang dapat juga makin ditonjolkan. Keberagaman ini merupakan hasil dari sejarah aktivitas perdagangan dan interaksi dengan berbagai budaya, yang menegaskan bahwa kawasan ini merupakan bagian integral dari sejarah dan budaya Indonesia.
Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia juga dapat menyoroti keanekaragaman dari budaya unik milik masyarakat Natuna, seperti ritual Tepung Tawar, yang berakar kuat pada budaya Melayu. Pemerintah perlu memastikan bahwasanya popularitas budaya masyarakat adat Natuna dan wilayah-wilayah perbatasan lainnya mendapatkan perhatian yang sama seperti kebudayaan daerah yang terkenal lainnya.
Author: Mohan Eteng dan Vanessa Kezia
Editor: Achmad Fauzan Rafi dan Paramasatya Rakha Abiyoga
Referensi
Arman, D. (2018, December 13). Natuna: Potret masyarakat dan budayanya. Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/natuna-potret-masyarakat-dan-budayanya-2/
BBC News. (2023, July 7). What is the South China Sea dispute? BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13748349
Chauhan, A. (2023, September 27). Cina-Philippines tussle: Everything you need to know about the South China Sea dispute. The Indian Express. https://indianexpress.com/article/explained/explained-global/south-Cina-sea-dispute-8957602/
China-US Focus. (2016). Understanding the South China Sea dispute. Cinausfocus.com. https://www.Cinausfocus.com/south-Cina-sea/
Diskominfo. (2019, December 11). Merdeka Sinyal, Natuna Bukan Lagi Surga Tersembunyi. Diskominfo Kabupaten Natuna. https://diskominfo.natunakab.go.id/merdeka-sinyal-natuna-bukan-lagi-surga-tersembunyi/
Kenny, M. (2024, February 28). Territorial disputes in the South China Sea | History, Maps, Cina, Vietnam, Taiwan, Philippines, Malaysia, & Facts | Britannica. Www.britannica.com.
Mirski, S. (2015, June 8). The South China Sea dispute: A brief history. LawFare. https://www.lawfaremedia.org/article/south-Cina-sea-dispute-brief-history
PLN. (2019, September 30). Listrik PLN dorong ekonomi di Natuna. PT PLN (Persero). https://web.pln.co.id/cms/media/siaran-pers/2019/09/listrik-pln-dorong-ekonomi-di-natuna/
Raja Adil Siregar. (2022, August 15). Sosok Tabrani Rab, penggagas Riau Merdeka yang dijuluki presiden. Detiksumut; detikcom. https://www.detik.com/sumut/berita/d-6235655/sosok-tabrani-rab-penggagas-riau-merdeka-yang-dijuluki-presiden
Rhevy Adriade Putra. (2023). How does language and culture form one unique national identity? A case study of renaming the South China Sea to North Natuna Sea in Indonesia’s foreign policy since 2016. Global Strategis, 17(2), 443–466. https://doi.org/10.20473/jgs.17.2.2023.443-466
Sebayang, R. (2020, September 14). Heboh Cina kembali klaim Natuna RI, ini fakta-faktanya! CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200914093939-4-186529/heboh-Cina-kembali-klaim-natuna-ri-ini-fakta-faktanya
Wiranto, S., Juwana, H., Sutisna, S., & Buntoro, K. (2015). The Disputes of the South China Sea from international law perspective. The Southeast Asia Law Journal, 1(1), 1. https://doi.org/10.31479/salj.v1i1.2