Program UN REDD+ dan Kerjasama Norwegia-Indonesia: The Doubts that Linger

Penulis: Taradhinta Suryandari

Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation (REDD+) merupakan sebuah program yang ditujukan untuk mengurangi deforestasi sebagai salah satu kerjasama iklim internasional. Konservasi hutan dengan pengurangan deforestasi dalam REDD+ sudah dibicarakan sejak UNFCCC Climate Talks di tahun 2005. Deforestasi dianggap sebagai salah satu cara yang efektif secara biaya untuk mengurangi emisi karbon.

Di Indonesia, usaha pengurangan emisi karbon melalui mekanisme REDD+ ini didanani oleh Pemerintah Norwegia. Pada tahun 2010 Indonesia dan Pemerintah Norwegia sepakat untuk bekerjasama yang ditandai dengan adanya Letter of Intent (LoI) on Cooperation on Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation. Dalam LoI tersebut, pemerintah Norwegia akan berkontribusi sebesar 1 milyar dollar Amerika untuk mendukung usaha REDD+ Indonesia. Indonesia-Norway REDD+ partnership dibagi ke dalam 3 fase, persiapan, transformasi, dan kontribusi untuk pengurangan emisi yang sudah terverifikasi. Kontribusi dari pemerintah Norwegia akan dibayarkan dengan metode payment-for-performance, yakni akan diberikan ke Indonesia jika Indonesia berhasil mengurani emisi. Sebagai langkah awal, Sulawesi Tengah dipilih sebagai pilot province untuk UN REDD+ Program.

Pada praktiknya, REDD+ di Indonesia tidak semulus yang dibayangkan, banyak terjadi masalah di lapangan. Kemajuan pada program REDD+ ini bisa dikatakan masih terbatas. Namun, REDD+ juga ternyata mampu memberikan sesuatu ke Indonesia walaupun tidak begitu besar dan tidak merujuk langsung kepada pengurangan emisi karbon. Pada tulisan ini, akan dibahas pada bagian apa saja REDD+ dikatakan berhasil dan pada bagian apa saja REDD+ dikatakan gagal.

Progress yang lambat dan berbagai tantangan REDD+

Setelah berjalan 5 tahun, yakni tahun 2015, emisi karbon Indonesia terbukti tidak menunjukkan penurunan. Pemerintah Norwegia hanya mengeluarkan dana untuk tahap persiapan dan transformasi pada tahap awal sebesar 50 juta dolar Amerika. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dari program REDD+ sendiri. Terdapat ketidakjelasan mengenai pengaturan carbon rights dan distribusi pembayaran. Kedua, dari dari sisi peraturan yang sudah ada di Indonesia. Terdapat kategori hutan yang sangat kompleks dan beragam bahkan terkadang terdaoat klaim yang tumpang tindih akan berbagai hutan. Hak kepemilikan tanah juga tumpang tindih antarberbagai aktor. Selanjutnya, dari sisi pemerintah,  banyak kementrian tidak tersinkronisasi satu sama lain. Hal ini mengakibatkan banyaknya perjanjian yang tumpang tindih tanpa proses yang transparan dalam pencapaiannya. Antarkementrian dan institusi publik terjadi konflik kepentingan yang membuat proses pengaturan kebijakan dalam rangka mencapai tujuan pengurangan karbon tidak efektif. Selain itu, pada saat yang sama, pemerintah juga mendukung agroindustri sebagai langkah pembangunan. Sehingga, kebijakan untuk mengurangi deforestasi menjadi kontradiktif dengan kebijakan agroindustri ini. Dari pihak pemerintah Norwegia juga menerapkan prinsip light touch yang mencegah pihak Norwegia untuk terlibat di proses pembuatan keputusan pemerintah Norwegia, padahal sebenarnya hal ini penting untuk mendorong efisiensi dan efektivitas program.  Dari aktor-aktor ketiga yang terlibat, banyak yang terbelah akan program REDD+ ini. Berbagai NGO terbelah mengenai sikapnya pada program REDD+. Komunitas lokal dan masyarakat di berbagai daerah juga skeptis. Pebisnis di bidang pertambangan dan kelapa sawit yang memiliki koneksi kuat ke pemerintah jelas menolak REDD+. Prinsip Free Prior dan Informed Consent tidak dijelaskan secara maksimum, sehingga yang terjadi akhrinya persuasi dan pemberitahuan satu arah mengenai program REDD+.

Pencapaian REDD+

Meskipun kondisi di lapangan belum menunjukkan kemajuan yang cukup berarti, terdapat berbagai pencapaian REDD+.  Beberapa pencapaian ini dikatakan Seymour dkk. masih bersifat rentan dan perlu ditingkatkan. Pertama, peningkatan visibiltas isu deforestasi di level nasional dan internasional. REDD+ memobilisasi berbagai aktor di dalam dan luar pemerintah untuk berkomitmen dan terlibat dalam reformasi hutan, bekerjasama dengan berbagai aktor lain dan membangun jaringan diantara mereka. Kedua, REDD+ mampu meningkatkan transparensi. LoI yang menuntut pengembangan peta nasional untuk hutan Indonesia dan mempublikasikan kepada khalayak luas. Ketiga, peningkatan ruang politik bagi hak-hak masyarakat adat. REDD+ meminta masyarakat adat untuk mengumpulkan teritori mereka dalam proses menyusun peta hutan nasional. Dalam REDD+, masyarakat adat juga diberi ruang bersama pemerintah untuk membicarakan bersama hutan mereka meskipun masih dalam kesempatan yang terbatas. Keempat, mendorong perhatian masyarakat ke berbagai tindak kriminal terkait hutan dan melakukan challenge terhadap berbagai kepentingan bisnis yang eksploitatif di hutan.

Akhirnya, kita patut mengapresiasi kesediaan pemerintah Norwegia, NGOs, masyarakat lokal, dan berbagai aktor lain yang turut berkomitmen dalam program REDD+. Meskipun banyak kegagalan terutama karena tersendat berbagai masalah teknis, birokrasi, hukum, dan kepentingan bisnis, REDD+ mampu berdampak, sedikit banyak, pada aspek politik berbagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Bagaimana mereka akhirnya ikut terlibat dan diberikan kapasitas untuk melawan berbagai kepentingan yang melakukan deforestasi, merupakan satu pencapaian yang baik.

 

Tulisan di atas sepenuhnya diolah dari:

Howell, Signe, and Elna Bastiansen. REDD+ in Indonesia 2010-2015. collaborative research, Oslo: Anthropology Department, University of Oslo & Universitas Gadjah Mada, 2015.

Seymour, Frances, Nancy Birdsall, and William Savedoff. “The Indonesia-Norway REDD+ Agreement: A Glass Half-Full.” CGD Policy Paper 56, February 2015: 1-13.

 

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.