Scandinavia: The Happiest Land in the World?

Penulis: Willibrordus B. Hartono

Di tahun 2016 Denmark kembali ditahbiskan sebagai negara paling bahagia menurut laporan Sustainable Development Solutions Network for the United Nations. Peringkat teratas tersebut merupakan suatu kemengan bagi mereka setelah sebelumnya tergusur oleh Swiss yang mengambil alih posisi teratas pada 2015. Terlepas daripada itu, Denmark konsisten berada di 5 besar bersama dengan Norwegia beserta Swedia berada dalam 10 besar teratas sejak penilaian ini dimulai pada 2013. Sulit membayangkan hal itu? Sedikit keluar dari topik adalah menyinggung tentang Finlandia dengan meme yang membandingkan sistem pendidikan dan kebahagiaan mereka dengan Indonesia sempat merebak di linimasa kita. Pertanyaan menggelitik kemudian muncul, apakah benar bahwa orang Skandinavia se-”bahagia” itu?

Untuk menjawab hal tersebut, mari kita tentukan tentang apa itu definisi kebahagiaan. Jika mengutip KBBI, maka kebahagiaan bermakna ‘keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)’. Namun, tunggu dulu – kita perlu menyadari bahwa setiap orang tentunya memiliki jawaban berbeda-beda terkait kebahagiaan. Menarik bukan, jika kemudian anda membayangkan bahwa setiap orang yang berbeda pendapat tersebut kemudian tinggal dalam satu tempat yang kemudian kita sebut sebagai Negara. Sustainable Development Solutions Network for the United Nations, 6 syarat yang harus dipenuhi oleh negara untuk memiliki nilai dalam standar kebahagiaan adalah: 1) angka harapan hidup yang lebih lama daripada rerata angka harapan hidup global, 2) memiliki fasilitas social support yang memadai, 3) warga negara memiliki banyak pilihan hidup, 4) sifat kedermawanan warga negara terkait, 5) negara memiliki sistem yang adil berlaku untuk seluruh masyarakat, dan 6) memiliki Gross Domestic Product (GDP) per kapita yang tinggi. Kasus selesai, bukan? Belum tentu – kita masih perlu membuka tabir tentang Skandinavia satu-persatu.

Dimulai dari Denmark. Di bidang energi, negara ini terkenal dengan pengembangan energi hijau terbarukan. Mereka menjadi role model dalam upaya membuat seluruh warganya memiliki gaya hidup hijau dengan meningkatkan harga minyak domestik. Namun, dibalik hal itu ekonomi mereka masih bergantung kepada industri minyak serta peternakan yang besar yang dijual di pasar internasional, meninggalkan jejak karbon yang sangat besar hingga mereka ditahbiskan sebagai negara nomor 4 penghasil polusi terbesar. Tingkat produktivitas yang telah diatur sedemikian rupa untuk mendorong mereka menghabiskan banyak waktu bersama keluarga juga berdampak negatif dengan hutang negara yang terus bertambah dikarenakan untuk terus mengisi kekurangan akibat berkurangnya produktivitas. Orang Denmark hampir seluruh waktunya selama seminggu dihabiskan untuk bekerja ‘buat’ negara akibat sistem perpajakan mereka sendiri. Tidak heran bahwa konsumsi obat anti-depresan terbesar nomor dua menurut WHO dipegang oleh mereka.

Berlanjut ke Norwegia. Dikarenakan homogenitas ras yang ada disana, mereka cukup selektif dalam menerima kedatangan imigran. Norwegia hanya menerima 5000 aplikasi berbanding dengan tetangganya Swedia yang menerima 9000 aplikasi, dan 5000 merupakan setengah dari total aplikasi imigran selama tahun 2013. Jumlah penerimaan aplikasi juga berbanding lurus dengan kasus rasisme yang meningkat, yang dapat diungkap ‘berkat’ sistem pelaporan polisi yang mumpuni disana. Norwegia yang diakui pengelolaan pension fund serta pajaknya juga mengalami sedikit masalah dikarenakan adanya persentase yang cukup besar dari bidang perminyakan.

Terakhir adalah Swedia. Memiliki masalah xenophobia yang sama dengan tetangganya terbukti dengan popularitas partai ekstrim sayap kanan yang terus meningkat. Salah satu dampaknya adalah kebijakan baru-baru ini tentang penutupan jembatan Öresund yang menghubungkan negara ini dengan Denmark untuk mengurangi masuknya imigran menjadi cukup kontroversial di dunia internasional. Kemudian tingkat pengangguran mereka di usia produktif cukup besar, melebihi rata-rata negara-negara Uni Eropa dengan industri yang dulu berjaya seperti Saab kemudian bangkrut, ataupun Volvo yang diambil alih oleh investor dari Tiongkok. Sistem perpajakan yang dulunya progresif, cenderung saat ini lebih condong kepada perusahaan besar dengan dasar meningkatkan investasi.

Dengan ‘dosa-dosa’ yang telah disebutkan tersebut, apakah kemudian orang Skandinavia dapat disebut sebagai yang berbahagia? Mereka dengan mudah akan mengatakan jawabannya adalah “iya”. Orang-orang Skandinavia menganggap mencapai suatu kenyamanan merupakan suatu kebahagiaan. Dengan jaminan pendidikan serta kesehatan, mereka sudah merasakan perlindungan sejak lahir hingga meninggal. Kenyamanan yang menghangatkan atau hygge (dibaca hue-ga) dalam bahasa Denmark merupakan kunci utama mereka dalam mencapai kebahagiaan yang teraplikasikan dengan gaya bangunan maupun tempat berkumpul mereka. Orang-orang Swedia mampu mengimbangi kekurangan dengan inovasi yang mendunia seperti IKEA maupun Oriflame. Orang-orang Skandinavia, terutama Norwegia sudah akrab dengan Janteloven, suatu hukum yang dianggap mengharamkan individualitas dan penghargaan kepada diri sendiri, namun mendorong semangat komunal yang dapat menjamin adanya harmoni, stabilitas sosial dan keseragaman. Hal tersebut kemudian terbukti nyata dalam bentuk Nordic Model, suatu sistem pemerintahan khas yang dianggap mampu menyeimbangkan antara kiri dengan kanan di dalam negara-negara Eropa Utara ini dan menjadi sesuatu yang akan terus dipelajari kedepannya.

 

Leave a comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.